“Seburuk-buruk tempat adalah pasar, sebaik-baik tempat adalah masjid” (Hadits). Secara sekilas membaca hadis tersebut, kita seolah-olah masuk pada suatu dikotomi yang ekstrem di mana "pasar" sebagai simbol aktivitas kerja secara khusus, sedangkan "masjid" dimaknai sebagai wilayah beribadah atau belajar secara khusus pula. Apabila "kerja" dibatasi maknanya pada wilayah ekonomi dan sosial belaka, seakan-akan mengesankan adanya dikotomi antara yang duniawi (pasar, kerja) dengan yang ukhrawi (masjid, belajar). Kesan seperti itu tampak begitu kuat di kalangan Muslim sendiri.
Banyak orang menganggap bisnis hanyalah urusan dunia atau semata-mata sebagai suatu usaha untuk menghasilkan profit atau uang. Apakah kita lupa bahwa dalam berbisnis terbuka berbagai jalan untuk memasuki surga? Rasul kita yang mulia merupakan salah satu pebisnis yang paling unggul sepanjang sejarah. Kalau kita cermati lebih dalam, bisnis sebenarnya melayani orang lain. Pembeli adalah raja. Dalam pengertian yang lain, bisnis juga dapat diartikan memberikan tenaga, semangat, pikiran bahkan waktu kita untuk orang lain (pelanggan).
Sebagian pebisnis pemula sering memutar balikkan satu fakta kecil dan mengubah prinsip dalam berbisnis. Mungkin kita pernah mendengar "Saya mencari uang melalui bisnis. Karena itu saya melayani". Hal ini dapat diartikan bahwa “ia memberi karena ia mendapatkan”. Hal inilah yang membuat mereka jarang maju dan jalan di tempat.
Bandingkan dengan satu konsep berikut "Saya melayani orang lain melalui bisnis. Karena itulah saya mendapatkan uang". Hal ini dapat dimaknai bahwa “ia mendapatkan karena ia memberi". Inilah satu paham yang disebut sebagai bisnis itu ibadah. Bukankah konsep ini sama dengan konsep zakat? Zakat yang kita bayar akan dilipatgandakan oleh Allah Swt. Dua hal yang sebenarnya sama tapi luput dari perhatian kita.
Ketika kita berfokus pada uang, maka kita cenderung mengabaikan pelayanan terhadap pelanggan. Tetapi ketika kita berfokus pada keuntungan pelanggan maka keuntungan akan datang kepada kita sebagai konsekuensi mutlaknya. Bukankah dalam prinsipnya,orang yang senantiasa menguntungkan orang lain selalu dicari orang lain? Bisnis adalah ibadah karena selalu merupakan perwujudan pengabdian kita kepada Allah dengan cara melayani orang lain.
Oleh karena itu, sesungguhnya dikotomi antara "kerja" dengan "belajar" tidak perlu terjadi. Karena, apabila kita menghayati ikrar kita secara mendalam pada proposisi "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" dalam surat Al-Fatihah, maka dunia kehidupan kaum Muslimin bernuansa ibadah yang sangat kental.