Sabtu, 31 Maret 2012

Penyatuan Zona Waktu: Waktu Salat Seperti Biasa


Wacana penyatuan zona waktu
Seperti diketahui bahwa untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi, pemerintah berencana menyatukan perbedaan wilayah waktu Indonesia yang saat ini dibagi ke dalam tiga zona waktu (WIB, WITA dan WIT). Rencana zona Waktu Indonesia Tengah (WITA) akan menjadi acuan dan nantinya batas waktu Indonesia dalam internasional akan menjadi Greenwich Mean Time (GMT) +8.
Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari media cetak dan elektronik, wacana penggabungan zona waktu Indonesia ini pertama kali disuarakan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa. Menurutnya, Penggabungan zona waktu ini diyakini dapat meningkatkan daya aset negara dan potensi yang dimiliki Indonesia. Ada perhitungan studi yang mengatakan bisa menghemat angka triliunan rupiah kalau penggabungan zona waktu dilakukan.
Selanjutnya, Bank Indonesia mendukung sepenuhnya terhadap rencana pemerintah tersebut. Seperti diungkapkan Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution usai melantik 15 pejabat BI yang baru di Gedung BI, Jakarta, Senin (12/3) bahwa biaya operasional dan biaya transaksi bisa dihemat, apalagi di pasar modal.
Dengan demikian tujuan dari rencana penyatuan zona waktu atas seluruh wilayah di Indonesia lebih pada pertimbangan keuntungan sisi ekonomi, khususnya lalu lintas keuangan di pasar modal dan Bank Indonesia. Keuntungan dimaksud pertama, efisiensi dalam pengaturan waktu. Kedua, produktivitas waktu kerja karena dengan GMT+8 maka masyarakat yang tinggal di kawasan Indonesia timur dan tengah akan memiliki waktu transaksi lebih banyak, atau sama dengan masyarakat yang tinggal di kawasan Indonesia barat. Dan ketiga, penghematan pada sisi biaya transaksi keuangan.

        Pengaruh terhadap waktu salat
Secara mendasar, tidak ada pengaruh yang signifikan. Karena penentuan waktu salat itu didasarkan pada posisi Matahari (jam matahari). Objek bahasan adalah istilah-istilah untuk mendefiniskan posisi Matahari tersebut, seperti: fajar, terbit, melintasi meridian, tergelincir, senja, terbenam, dan malam.
Sementara itu, zona waktu lebih terkait pada konversi waktu berdasarkan bujur daerah tertentu yang menjadi rujukan. Di sini yang menjadi objek bahasannya adalah selisih waktu yang didasarkan pada perbedaan letak geografis, yakni selisih nilai bujur antara dua tempat/zona. Bujur zona yang sekarang berlaku di Indonesia, yakni WIB = 105 (GMT+7); WITA = 120 (GMT+8); dan WIT = 135 (GMT+9) yang masing-masing memiliki selisih 15 derajat bujur atau memiliki selesih waktu 1 jam.
Jadi saya kira jelas sekali bahwa dua hal tersebut memang berbeda objek bahasannya. Karenanya, waktu salat tetap terjadi seperti waktu-waktu yang biasa berlaku sekarang. Artinya salat Magrib tetap dimulai sejak Matahari terbenam, tidak lebih awal atau lebih terkemudian dari saat Matahari terbenam tersebut. Waktu Subuh dimulai sejak terbit fajar, tidak akan lebih dahulu atau lebih terkemudian dari saat terbit fajar. Begitu pun halnya untuk waktu-waktu salat lainnya.
Tabel 1. Awal Waktu Salat Magrib Tanggal 23 Maret 2012
Kota
Magrib
Sebelum Penyatuan
Magrib
Setelah Penyatuan (GMT+8)
Jakarta
                    18.05 (WIB)
19.05
Banjarmasin
                    18.34 (WITA)
18.34
Jayapura
                    17.50 (WIT)
16.50








Waktu salat
Waktu salat memang telah ditentukan waktunya (QS. 4: 103). Sedangkan waktu-waktu salat itu didasarkan pada fenomena alam, yakni ketampakan Matahari (QS. 17: 78 dan hadis dari Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Ahamd, Nasa’i dan Tirmizi). Berdasarkan pemahaman terhadap teks-teks tersebut maka waktu-waktu salat sudah dapat dirinci.
Waktu Zuhur dimulai sejak Matahari tergelincir (sesaat setelah Matahari mencapai titik kulminasi/istiwa) sampai tiba waktu Asar. Waktu Asar dimulai saat panjang bayang-bayang suatu benda sama dengan bendanya ditambah dengan panjang bayang-bayang saat Matahari berkulminasi sampai tiba waktu Magrib. Waktu Magrib dimulai sejak Matahari terbenam sampai tiba waktu Isya. Lalu waktu Isya dimulai sejak hilang mega merah sampai separo malam (ada juga yang menyatakan hingga terbit fajar).  Dan waktu Subuh dimulai sejak terbit fajar sampai terbit Matahari.
 Gambar 1. Kedudukan matahari pada awal waktu-waktu salat

Berdasarkan penjelasan waktu-waktu salat tersebut, ada 2 hal yang perlu dipahami. Pertama, kedudukan atau posisi Matahari dalam koordinat horizon, terutama ketinggian atau jarak zenit. Fenomena yang dicari kaitannya dengan posisi Matahari, sekali lagi, adalah fajar, terbit, melintasi meridian, tergelincir, senja, terbenam, dan malam. Dalam hal ini Ilmu Falak (Astronomi) berperan menafsirkan fenomena yang disebutkan dalam Al-Quran dan hadis menjadi tinggi Matahari (h).  Dalam buku-buku Ilmu Falak disebutkan tinggi Matahari untuk awal waktu salat sebagai berikut:
1.      Zuhur = 90 - |p-d| atau seharga MP
2.   Asar dengan formula  Ctg h = tg |p-d| + 1 (ada pendapat lain yang mendefinisikan sebagai waktu pertengahan antara Zuhur dan Magrib)
3.      Magrib = -1 derajat
4.      Isya = -18 derajat 
5.   Subuh = -20 derajat (ada pendapat lain 15, 16, 17, 18, 19, dan 21 derajat di bawah ufuk)
Kedua, waktu salat bersifat lokal. Karena bentuk Bumi yang bulat dan Bumi berputar pada porosnya dengan arah Barat-Timur sehingga Matahari terbit di sebelah Timur. Keadaan tersebut berdampak pada datangnya waktu salat yang berbeda-beda pada setiap tempat.  Wilayah sebelah Timur akan lebih dahulu waktu salatnya dibanding dengan wilayah di sebelah Baratnya, seperti waktu salat Magrib di Banjarmasin (lebih ke Timur) akan lebih dahulu dibandingkan di Jakarta (lebih ke Barat).

      Cara menentukan waktu salat
Pada zaman Rasulullah waktu salat ditentukan berdasarkan observasi (rukyat) terhadap gejala alam dengan melihat langsung Matahari. Pada perkembangan selanjutnya, dibuatlah Jam Surya dan Jam Istiwa (tongkat istiwa) dengan kaidah bayangan Matahari. Setelah berkembang metode hisab (perhitungan), maka penentuan waktu salat pun dapat dilakukan dengan metode hisab.
Untuk menghitung awal waktu salat diperlukan data berikut: lintang (p) dan bujur (b) tempat yang dapat diperoleh melalui tabel, peta, Global Positioning System (GPS) dan lain-lain , tinggi Matahari (h), deklinasi Matahari (d) dan perata waktu/equation of time (e) yang diperoleh melalui daftar astronomi seperti Ephemeris, dan ihtiyath atau nilai kehati-hatian (i).
Proses perhitungan dibantu dengan menggunakan formula berikut:
(1)    Formula sudut waktu Matahari (t)
Cos  t =  -tan p  tan d  +  sec p  sec d sin h
(2)    Formula saat Matahari berkulminasi/Meridian Pass (MP)
                MP = 12j – e
(3)    Formula Koreksi Waktu Daerah (KWD)
                KWD = (b tempat – b daerah)/15
(4)    Formula awal waktu salat
W = ( t /15) + MP + KWD + i
Misalnya kita ambil contoh bagaimana menentukan awal waktu salat Isya tanggal 23 Maret 2012 di Banjarmasin. Diketahui data sebagai berikut: lintang (p=-3°19’) dan bujur tempat (b=114°35’), bujur daerah (WITA/GMT+8) = 120°, tinggi Matahari Isya (h=-18°), deklinasi Matahari (d=1°24’37” ), perata waktu (e=-6m20d ), dan ihtiyath (i=2m). Selanjutnya dilakukan perhitungan sebagai berikut:
(1)    Menentukan nilai t
Cos  t =  -tan -3°19’  tan 1°24’37”  +  sec -3°19’  sec 1°24’37” sin -18°
         t = 107°57’03,39”
(2)    Menentukan nilai MP
                MP = 12j – (-6m20d) = 12j6m20d
(3)    Menentukan nilai KWD
                KWD = (114°35’ – 120°)/15 = 0j21m40d
(4)    Menentukan awal waktu salat
W = ( t /15) + MP + KWD + i
     = 107°57’03,39”/15 + 12j6m20d + 0j21m40d + 2m
     = 07j11m48,23d + 12j6m20d + 0j21m40d + 2m
     = 19j41m48,23d
Maka awal waktu salat Isya adalah pukul 19:42 (WITA) dengan pembulatan.

Secara sederhana, cara penentuan awal waktu salat adalah dengan  menjumlahkan besaran MP dengan t. Meridian pass (MP) adalah waktu yang ditempuh matahari dari titik kulmiasi bawah hingga mencapai titik kulminasi atas (istiwa). Sudut waktu (t) adalah sudut posisi Matahari dari saat kulminasi hingga ke posisi Matahari pada kedudukan awal waktu salat. Sementara tinggi Matahari (h) adalah sudut yang diukur posisi Matahari terhadap bidang horizon, di mana h merupakan salah satu unsur untuk memperoleh nilai t.

Gambar 2. Waktu Isya adalah jumlah besaran MP dan t

      Tanggapan warga atas rencana penggabungan zona waktu
Untuk mengetahui bagaimana tanggapan masyarakat, saya kira harus melalui penelitian. Tetapi berdasarkan dugaan saya, jika penyatuan zona waktu menggunakan formula GMT+8, maka khusus bagi masyarakat yang berada di wilayah Indonesia tengah seperti Kalsel, Kaltim, Sulawesi, Bali, NTB dan NTT, tentu tidak masalah, karena wilayah ini tidak mengalami perubahan waktu.
Tetapi bagi masyarakat yang berada di wilayah Indonesia Barat dan Timur mungkin akan berbeda tanggapannya karena mereka akan merasakan perubahan tersebut. Namun sekali lagi perubahan itu hanya pada aspek penunjukan dan penyebutan standar waktu. Kalau rencana penyatuan zona waktu ini disosialisasikan kepada segenap stakeholder tentu akan bisa diterima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Terakhir